Semua manusia diberikan hidup untuk melakukan dan menindaki segala bentuk masalah-masalah yang dihadapkan padanya. Acapkali manusia tidak dapat menyelesaikan masalah itu dan membutukkan bantuan dari sesama atau orang lain. Beberapa pribadi manusia seringkali mengeluh akan sebuah masalah yang menyebapkan gangguan dan kesusahan berkepanjangan dalam hidupnya. Masalah tersebut tampaknya mencampuri setiap aspek kehidupan di kalangan manusia sekarang ini, masalah tersebut adalah kurangnya rasa percaya diri. Banyak orang menderita rasa kurang percaya diri. Bagi sebagian orang hal ini hanya menimbulkan sedikit gangguan, sedangkan bagi orang lain dapat memberikan kesulitan besar bahkan rasa malu. Ada anggapan yang menyatakan bahwa bila kita dapat meningkatkan rasa percaya diri, hubungan kita dengan orang lain akan jauh lebih baik, pekerjaan menjadi lebih mudah, dan seluruh hidup kita menjadi lebih memuaskan.
Semua manusia yang dilahirkan ke dunia ini telah diwariskan dan ditanamkan dalam dirinya sebuah potensi dan rahmat yang disebut kepercaya diri. Masalahnya bahwa bagaimana setiap pribadi manusia mengolah potensi yang telah ditanamkan padanya dan mencapai kepercayaan diri tersebut. Sebagian manusia berusaha mengembangkan potensi tersebut dan memperolehnya sehingga hidupnya tanpa dinaungi rasa takut dan semakin sejahterah. Sebagian lagi terus menutupi dirinya hingga potensi tersebut tertanam semakin dalam. Manusia macam ini menganggap dunia merupakan tempat yang bermusuhan dan menyulitkan baginya sehingga munculah rasa malu, minder, dan takut yang selalu menghantui hidupnya. Adapula pribadi yang mempunyai rasa percaya diri yang sangat tinggi sehingga karena suatu kejadian pahit seperti diceraikan, dipecat, atau suatu penyakit psikiatrik membuatnya jatuh dan trauma.
Kepercayaan diri dapat ditingkatkan. Begitu banyak cara untuk melakukan hal tersebut, sekarang tergantung setiap pribadi bagaimana ia melakukannya. Waktu telah tersedia begitu banyak bagi setiap orang untuk mengembangkan rasa percaya diri mereka tinggal bagaimana pribadi tersebut berkomitmen pada dirinya. Dalam hidup ini tak ada seorang pun tampil seperti tampaknya, kita semua bersandiwara. Tetapi, jujurlah kepada diri sendiri. Anda bisa membohongi orang lain, tapi jangan pernah membohongi diri anda sendiri.
Facebook Badge
Minggu, 24 Januari 2010
Inilah Aku Utuslah Aku
Selasa, 15 Desember 2009, siang itu kami beranjak keluar dari seminari dan memulai suatu petualangan baru, dimana kami mengolah panggilan kami.. Ini pengalaman pertama kami retret di rumah retret Samadi Syalom, Sindanglaya. Dengan berani kami siap untuk melangkah dan memulai petualangan rohani tersebut, dimana kami harus mempertanggungjawabkan suara hati dan panggilan kami. Tidak ada yang tahu apa yang nantinya kami lakukan di sana, hanya Ia-lah yang tahu, Tuhan Raja Semesta Alam. Kisahku dimulai dari saat ini.
Hari pertama, sekitar pukul 10.30, kami telah siap dengan segala kebutuhan kami menuju rumah ret-ret. Direncanakan bus akan menjemput kami sekitar pukul 11.00, dan ternyata jam telah berubah. Anggapan pukul 11.30 berubah menjadi 13.00, akibatnya kami terlambat tiba di rumah retret. Tak apalah itu hanyalah pembukaan pengalaman kecil. Selanjutnya, sekitar pukul 14.00 kami melangkahkan kaki, menginjak tanah yang belum pernah kami temui, tanah Sindanglaya. Perasaan sedikit tegang mengawali perasaanku memuli ret-ret di tempat tersebut. Entah apa yang akan terjadi padaku di tempat ini tapi yang jelas, seperti kata bend dewa 19, “hadapilah dengan senyuman….” menjadi pengubang rasa tegang dalam diriku. Yah, inilah awal dari perjuanganku.
Di hari pertama sesi yang kami dapatkan diberikan oleh Rm. Hendro Subekti, SJ. Dalam sesi ini kami diajak untuk memetakan antara seminari dan Gonzaga. Di sesi ini kami berusaha untuk membedakan antara hidup sebagai masyarakat Seminari dan Gonzaga. Aku sadar begitu banyak perbedaan antara dua pribadi dalam diriku, antara seorang seminaris dan siswa Gonzaga. Selama ini aku berfikir diriku jauh lebih unggul daripada mereka (siswa/i Gonzaga). Tetapi akhirnya aku sadar, bahwa aku tak jauh berbeda dengan mereka. Dilihat dari masalah kepintaran mungkin kami sama namun, dari tingkat kemalasan aku lebih unggul daripada mereka. Kualitas hidup rohani seminaris dikatakan jauh berada di atas siswa/i Gonzaga. Namun setelah aku mengalami hidup sebagai seorang seminaris, akhirnya aku sadar bahwa itu semua hanya Nampak di kapel saja, itupun masih “ogah-ogahan”. Pertanyaannya dimanakah perbedaanku sebagai seorang seminaris dibandingkan dengan siswa/i Gonzaga ? Setelah mengikuti rangkaian retret hari pertama ini akhirnya aku menemukan jawaban atas semua itu. Jawabannya adalah bahwa diriku sebagai seorang seminaris dibagi menjadi empat bagian penting. Itulah Sancitas, Scientia, Sanitas, dan terakhir Societas. Inilah empat aspek dasar yang menjadi perbedaan antara diriku dengan remaja pada umumnya. Yang menjadi hal yang sangat penting adalah bagaimana diriku menggabungkan keempat aspek tersebut menjadi satu dalam diriku dan membuat diriku menjadi pribadi yang baik.
Hari kedua kami diajak untuk mengennal berbagia macam doa. Diantaranya meditasi, kontemplasi ,dan terakhir konsiderasi. Pagi-pagi benar kami diajak untuk ke kapel melakukan meditasi, sebagai pengganti doa pagi. Dalam meditasi itu kami kemudian dikenalkan dengan yang namanya kontemplasi dan diakhiri dengan konsiderasi. Dalam hal ini dilatih sejauh mana konsentrasi dan ketenangan yang dapat kuciptakandan mengganbungkan itu semua dalam sebuah imajinasi yang luas. selama retret, setiap pagi kami melakukan hal-hal tersebut namun sedikit berbeda tiap harinya. Di pagi hari ke tiga kami diajar untuk lebih berkonsentrasi dalam Yoga. Di pagi hari yang keempat kami diajak untuk menyerap energy alam dan menyatukannya dalam diri. Hal ini kami lakukan untuk lebih menyatu dengan alam dan lebih menjalin hubungan dekat dengan mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya.
Dalam retret kali ini pula kami diajak untuk membuat garis/ bagan kehidupan kami. Diawali dari kami lahir sampai saat ini. Dalam pembuatan garis bilangan kehidupan tersebut, aku diajak untuk mengawalinya dengan sebuah bacaan sebagai penuntun dan melanjutkan dengan mengkontemplasikan semua itu. Akhirnya aku siap untuk membuat garis bilangan kehidupanku untuk menerima segala kenyataan pahit dan manis sepanjang aku diberi kesempatan untuk hidup. Dilihat dari garis bilangan kehidupan tersebut akhirnya aku sadar dan menerima kenyataan baik dimana titik tertinggi dan terpuruk dalam hidupku. Setelah menemukannya akhirnya aku mengkonsultasikan emua itu ke Rm. Hendro. Ia sedikit membantuku dalam menghadapi kenyataan hidup terpurukku. Yah, akhirnya aku dapat menerima dan mengatasi segala trauma dalam hidupku.
Begitu nbanyak pengalaman berharga, kesan dan pesan, pelajaran, dan kesimpulan hidup yang aku dapatkan dari retret kalil ini yang tankan mungkin aku hilangkan dari memori hati dan pikiranku. Akupun tidak dapat menuliskan semuanya dalam bentik kata-kata tertulis. Yang terpenting dari segala pengalaman luar biasa ini bahwa bagaimana aku mengambil makna dari segala rangkaian retret ini. Dan lagi bagaimana aku melakukannya dan menerapkannya dalam kehidupanku sebagai calon-calon abdi Kristus, calon Imam.
Hari pertama, sekitar pukul 10.30, kami telah siap dengan segala kebutuhan kami menuju rumah ret-ret. Direncanakan bus akan menjemput kami sekitar pukul 11.00, dan ternyata jam telah berubah. Anggapan pukul 11.30 berubah menjadi 13.00, akibatnya kami terlambat tiba di rumah retret. Tak apalah itu hanyalah pembukaan pengalaman kecil. Selanjutnya, sekitar pukul 14.00 kami melangkahkan kaki, menginjak tanah yang belum pernah kami temui, tanah Sindanglaya. Perasaan sedikit tegang mengawali perasaanku memuli ret-ret di tempat tersebut. Entah apa yang akan terjadi padaku di tempat ini tapi yang jelas, seperti kata bend dewa 19, “hadapilah dengan senyuman….” menjadi pengubang rasa tegang dalam diriku. Yah, inilah awal dari perjuanganku.
Di hari pertama sesi yang kami dapatkan diberikan oleh Rm. Hendro Subekti, SJ. Dalam sesi ini kami diajak untuk memetakan antara seminari dan Gonzaga. Di sesi ini kami berusaha untuk membedakan antara hidup sebagai masyarakat Seminari dan Gonzaga. Aku sadar begitu banyak perbedaan antara dua pribadi dalam diriku, antara seorang seminaris dan siswa Gonzaga. Selama ini aku berfikir diriku jauh lebih unggul daripada mereka (siswa/i Gonzaga). Tetapi akhirnya aku sadar, bahwa aku tak jauh berbeda dengan mereka. Dilihat dari masalah kepintaran mungkin kami sama namun, dari tingkat kemalasan aku lebih unggul daripada mereka. Kualitas hidup rohani seminaris dikatakan jauh berada di atas siswa/i Gonzaga. Namun setelah aku mengalami hidup sebagai seorang seminaris, akhirnya aku sadar bahwa itu semua hanya Nampak di kapel saja, itupun masih “ogah-ogahan”. Pertanyaannya dimanakah perbedaanku sebagai seorang seminaris dibandingkan dengan siswa/i Gonzaga ? Setelah mengikuti rangkaian retret hari pertama ini akhirnya aku menemukan jawaban atas semua itu. Jawabannya adalah bahwa diriku sebagai seorang seminaris dibagi menjadi empat bagian penting. Itulah Sancitas, Scientia, Sanitas, dan terakhir Societas. Inilah empat aspek dasar yang menjadi perbedaan antara diriku dengan remaja pada umumnya. Yang menjadi hal yang sangat penting adalah bagaimana diriku menggabungkan keempat aspek tersebut menjadi satu dalam diriku dan membuat diriku menjadi pribadi yang baik.
Hari kedua kami diajak untuk mengennal berbagia macam doa. Diantaranya meditasi, kontemplasi ,dan terakhir konsiderasi. Pagi-pagi benar kami diajak untuk ke kapel melakukan meditasi, sebagai pengganti doa pagi. Dalam meditasi itu kami kemudian dikenalkan dengan yang namanya kontemplasi dan diakhiri dengan konsiderasi. Dalam hal ini dilatih sejauh mana konsentrasi dan ketenangan yang dapat kuciptakandan mengganbungkan itu semua dalam sebuah imajinasi yang luas. selama retret, setiap pagi kami melakukan hal-hal tersebut namun sedikit berbeda tiap harinya. Di pagi hari ke tiga kami diajar untuk lebih berkonsentrasi dalam Yoga. Di pagi hari yang keempat kami diajak untuk menyerap energy alam dan menyatukannya dalam diri. Hal ini kami lakukan untuk lebih menyatu dengan alam dan lebih menjalin hubungan dekat dengan mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya.
Dalam retret kali ini pula kami diajak untuk membuat garis/ bagan kehidupan kami. Diawali dari kami lahir sampai saat ini. Dalam pembuatan garis bilangan kehidupan tersebut, aku diajak untuk mengawalinya dengan sebuah bacaan sebagai penuntun dan melanjutkan dengan mengkontemplasikan semua itu. Akhirnya aku siap untuk membuat garis bilangan kehidupanku untuk menerima segala kenyataan pahit dan manis sepanjang aku diberi kesempatan untuk hidup. Dilihat dari garis bilangan kehidupan tersebut akhirnya aku sadar dan menerima kenyataan baik dimana titik tertinggi dan terpuruk dalam hidupku. Setelah menemukannya akhirnya aku mengkonsultasikan emua itu ke Rm. Hendro. Ia sedikit membantuku dalam menghadapi kenyataan hidup terpurukku. Yah, akhirnya aku dapat menerima dan mengatasi segala trauma dalam hidupku.
Begitu nbanyak pengalaman berharga, kesan dan pesan, pelajaran, dan kesimpulan hidup yang aku dapatkan dari retret kalil ini yang tankan mungkin aku hilangkan dari memori hati dan pikiranku. Akupun tidak dapat menuliskan semuanya dalam bentik kata-kata tertulis. Yang terpenting dari segala pengalaman luar biasa ini bahwa bagaimana aku mengambil makna dari segala rangkaian retret ini. Dan lagi bagaimana aku melakukannya dan menerapkannya dalam kehidupanku sebagai calon-calon abdi Kristus, calon Imam.
Langganan:
Postingan (Atom)